WWF-Indonesia


Hiu: Penjaga Keseimbangan Laut Dunia

01 Maret 2023

Oleh Ivan Nicholas


Hiu juga dikenal sebagai predator puncak (apex predator) di laut yang berfungsi menjaga keseimbangan ekosistem laut

Hiu merupakan salah satu satwa tertua di bumi ini yang sudah menjelajahi lautan sejak 450 juta tahun yang lalu dan berhasil melewati lima fenomena kepunahan massal (Signorelli, 2020). Hiu juga dikenal sebagai predator puncak (apex predator) di laut yang berfungsi menjaga keseimbangan ekosistem laut. Sebagai predator puncak, hiu berperan untuk melakukan kontrol populasi dalam rantai makanan demi menjaga keseimbangan populasi satwa lainnya pada suatu ekosistem. Hiu memiliki kecenderungan untuk mengonsumsi ikan yang sakit, tua, dan lemah. Hal ini juga turut mengurangi risiko penyebaran penyakit di dalam suatu ekosistem di laut.  

 

Hilangnya hiu dari rantai makanan akan menyebabkan gangguan keseimbangan ekosistem laut, dimana ikan berukuran sedang yang merupakan makanan hiu akan bereproduksi terus-menerus sehingga populasinya meningkat menyebabkan krisis populasi ikan yang ada di bawah rantai makanannya. Gangguan keseimbangan ekosistem akibat hilangnya populasi hiu tidak hanya berdampak bagi lingkungan, namun juga kesejahteraan nelayan ikan kecil dan udang yang semakin sulit mendapatkan hasil tangkapan. 

 

Mengingat pentingnya keberadaan hiu di lautan, perlu diketahui berbagai faktor yang menjadi ancaman bagi populasi hiu agar dapat ditentukan beberapa strategi yang dapat dilakukan sebagai upaya pelestarian dan pengelolaan hiu. Menurut Kerry Shor, terdapat tiga ancaman utama bagi hiu, yaitu : 

 

Penangkapan Berlebih (Overfishing) 

Penangkapan berlebih sudah tidak asing lagi dalam dunia perikanan. Penangkapan berlebih merupakan bentuk pemanfaatan (eksploitasi) sumber daya yang masif tanpa memperhatikan dampaknya bagi kelestarian lingkungan dan ketersediaan stok sumber daya di alam. Pada era 1970-an, populasi hiu dan pari di laut mengalami penurunan sebesar 71% akibat lonjakan perkembangan industri perikanan tangkap. Hal ini sendiri telah menyebabkan resiko kepunahan terhadap 75% spesies hiu dan pari (Pacoureau et al., 2021). Sementara itu pada masa kini, sekitar 100 juta ekor hiu ditangkap setiap tahunnya (Worm et al., 2013). Jumlah ini begitu mengkhawatirkan mengingat hiu membutuhkan waktu yang lama untuk mencapai kedewasaan dan memiliki tingkat reproduksi yang rendah. 

 

Tingkat Konsumsi yang Tinggi 

Permintaan pasar yang tinggi akan produk hiu untuk dikonsumsi menjadikan tingkat penangkapan dan perdagangan hiu masih sulit dikelola. Setiap tahunnya, diperkirakan 73 juta ekor hiu ditangkap hanya untuk dimanfaatkan siripnya, khususnya sebagai komponen utama dalam hidangan sup sirip hiu. Padahal, shark – finning merupakan praktik yang keji dimana hiu ditangkap dan diambil siripnya dalam keadaan masih hidup, kemudian dibuang kembali ke laut. Tanpa sirip hiu tidak dapat bergerak dan berenang, bahkan beberapa jenis hiu haru berenang terus-menerus agar dapat tetap bernapas dengan baik. Oleh karena itu, hiu yang menjadi korban dari shark – finning umumnya akan tenggelam dan mati di dasar laut. 

 

Hilangnya Habitat 

Ekosistem terumbu karang dan perariran dangkal merupakan habitat bagi kebanyakan hiu karena ketersediaan makanan dan tempat untuk berlindung. Namun seiring waktu, habitat bagi hiu juga turut mengalami degradasi akibat berbagai macam hal. Kenaikan suhu air laut akibat perubahan iklim menjadi salah satu penyebab utama hilangnya habitat bagi hiu. Selain itu, gangguan dari manusia dan ancaman limbah serta sampah plastik juga turut menyebabkan habitat hiu tidak lagi aman dan nyaman bagi mereka dan satwa laut lainnya.  

 

Melihat berbagai ancaman terhadap hiu tersebut, sudah menjadi tugas kita bersama untuk mencegah hilangnya populasi hiu di lautan. Selain karena peran pentingnya dalam menjaga kestabilan ekosistem, keragaman jenis hiu di laut juga merupakan aset yang sangat berharga di dunia ilmu pengetahuan. Untuk mewujudkan pengelolaan hiu yang lestari dan berkelanjutan, dibutuhkan partisipasi aktif dari berbagai pihak; mulai dari pemerintah, akademisi, lembaga konservasi, nelayan, hingga seluruh lapisan masyarakat.  

 

Yayasan WWF Indonesia sendiri telah bekerja sama dengan pemerintah dan berbagai mitra dalam pelaksanaan berbagai upaya pengelolaan dan pelestarian hiu. Salah satu yang terbaru adalah pengembangan inovasi pada perikanan tangkap yang ramah bagi hiu dengan menggunakan perangkat Electro Shield System (EES). Teknologi ini diharapkan dapat mengurangi tangkapan sampingan (bycatch) berupa hiu. Selain itu, Yayasan WWF Indonesia juga kerap menggalakkan kampanye #SOSharks (Save Our Sharks) yang turut menggandeng berbagai komunitas dan kalangan masyarakat publik untuk menghindari konsumsi produk hiu.  

 

Sebagai masyarakat yang sadar akan pentingnya hiu bagi lingkungan, sudah selayaknya kita berkontribusi dalam upaya perlindungan dan pelestarian hiu; misalnya dengan tidak mengonsumsi hidangan berbahan dasar hiu, tidak membeli souvenir yang dibuat dari produk hiu, mendukung praktik perikanan yang ramah lingkungan, hingga menjaga kebersihan dan kelestarian lingkungan pesisir yang menjadi habitat bagi hiu yang menghuni laut kita. 









Artikel ini telah dilihat sebanyak 6480 kali



Please share this page

Berita



Fenomena perubahan iklim yang telah terjadi sejak era 1800-an kini dampaknya semakin terasa



Hiu juga dikenal sebagai predator puncak (apex predator) di laut yang berfungsi menjaga keseimbangan ekosistem laut



Bertepatan dengan Shark Awareness Day, WWF-Indonesia menyelenggarakan diskusi daring #SharksonTuesDay






Mohon Tunggu....