WWF-Indonesia


WWF – Indonesia Ajak Pemenang Kompetisi Video #SOSharks 2019 Melihat Upaya Perlindungan Hiu dan Pari Manta di TN Komodo

-

Oleh


Mendung menyelimuti langit Labuan Bajo pagi itu, rintik hujan tidak menghalangi kesigapan mas Kusnanto yang masih sibuk dengan ponselnya untuk menghubungi pemilik kapal tempat kami menginap, karena kami akan berlayar menghabiskan satu malam dua hari bersama-sama di atas kapal, atau yang lebih dikenal dengan Live on Board (LOB). Mas Kusnanto adalah Biodiversity Monitoring, Plastic Free Ocean and Sosial development Officer, WWF – Indonesia yang akan mendampingi saya, Neni (Universitas Brawijaya), Lisa (Universitas Negeri Yogyakarta) dan Arkham (Redbus Indonesia), ketiga pemenang kompetisi video #SOSharks kemarin, selama 2 hari ke depan untuk melihat langsung apa yang dilakukan WWF – Indonesia di TN Komodo dan Labuan Bajo, khususnya untuk program perlindungan hiu.

 

Taman Nasional Komodo berada di Kabupaten Manggarai Barat, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Selain habitat untuk hewan purbakala yang jadi ujung tombak pariwisatanya, TN Komodo juga memiliki daya tarik bawah laut yang luar biasa. “Sejak 2013 kami mendukung BTN Komodo untuk pengelolaan kawasannya. WWF-Indonesia punya empat program utama di sini, yaitu pengelolaan kawasan konservasi perairan, perikanan berkelanjutan, pariwisata berkelanjutan, dan perlindungan satwa laut terancam punah dimana program perlindungan hiu termasuk di dalamnya.” terang mas Khaifin yang akrab disapa mas Iping (Komodo Marine Protected Area Site Coordinator, WWF – ID), saat kami kulonuwun sehari sebelum melaut ke kantor site WWF – Indonesia di Labuan Bajo, tempat mas Kusnanto berkantor.

 

Pulau Rinca adalah check poin pertama kami, di pulau yang berisi lebih dari 1500 ekor Komodo ini, WWF – ID melakukan capacity building kepada para ranger (sebutan bagi penjaga pos pantau di sana) bagaimana menjaga kelestarian pariwisata bahari di P. Rinca, mas Kus juga menunjukkan beberapa papan penanda yang dibuat atas kerja sama Balai TN Komodo dengan WWF. “Jangan tertawa kencang – kencang. Kalau lihat Komodo, jangan lari mendadak mengagetkan mereka. Takut dikejar”, ujar pak Dito, naturalis guide kami hari itu yang kami ikuti dengan gerakan saling merapat perlahan. Langit mendung tidak mengurangi keindahan perbukitan hijau P. Rinca siang itu, tidak heran kalau TN Komodo ditetapkan sebagai satu dari sepuluh destinasi prioritas pariwisata periode 2016-2019. Sore itu kami tutup dengan snorkeling di perairan P. Pempeh, salah satu pantai yang biasa dijadikan lokasi coastal clean up WWF dan BTN Komodo.

 

Hari kedua kami dibangunkan deru mesin kapal yang sudah melaju menuju Pulau Padar, salah satu puncak bukit yang ikonik di sana. Langit memihak pada kami hari itu, suasananya cerah. Kami bisa melihat gumpalan – gumpalan awan putih di langit biru TN Komodo. Setelah tracking 45 menit, kami tiba di puncak. Sesampainya di puncak, mas Kusnanto menunjuk perairan arah selatan P. Padar “Tuh di sana, WWF dan BTNK melakukan monitoring potensi sumber daya perairan dan studi carrying capacity, untuk mengatur jumlah wisatawan selam hiu dan pari manta.” ujarnya.

 

Sebelum kembali ke darat, kami menuju Pulau Mesa yang menjadi desa dampingan WWF – Indonesia. Di desa yang padat penduduk ini, WWF melakukan edukasi mengenai pengelolaan sampah organik dan an-organik. Di dekat desa ini pula, terdapat keramba penampungan ikan karang hidup milik UD Pulau Mas, salah satu anggota Seafood Savers, perusahaan dengan komoditi ikan karang. Keesokan harinya, kami sempat mengunjungi TPI Labuan Bajo, dimana tadinya ditemukan hiu yang ditangkap oleh nelayan sebagai tangkapan sampingan (bycatch), dan sebelum pulang ke kota masing – masing, kami menyempatkan diri berkunjung ke Koperasi Serba Usaha (KSU) Sampah Komodo yang diinisiasi WWF - Indonesia. KSU ini menjadi percontohan Tempat Pembuangan Sampah (TPS) 3R (Reduce, Reuse, Recycle) masyarakat Labuan Bajo. Ancaman sampah khususnya plastik ini perlu ditanggulangi secara strategis dan melibatkan semua pihak baik pemerintah maupun masyarakat. Menurut hasil penelitian WWF tahun 2017, jumlah produksi sampah di Labuan Bajo sekitar 12,8 Ton per hari dan di TN komodo sekitar 0,65 Ton per hari. Oleh karena itu perlu adanya pengelolaan sampah untuk mengurangi dampak dari sampah, terutama sampah plastik, dan bisa menjadi mikroplastik yang bisa mengancam kelestarian hiu dan pari manta.

 

Upaya pengelolaan hiu dan pari manta di TN Komodo sudah dilakukan sejak 2013 lalu, hingga pada tanggal 11 Maret 2019 Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat mengeluarkan kebijakan yang dituangkan dalam Peraturan Bupati Nomor 18 Tahun 2019 tentang Perlindungan Keanekaragaman Hayati Ikan Hiu dan Pari Manta sebagai Daya Tarik Wisata di Kabupaten Manggarai Barat. Dimana semua jenis hiu dan pari manta tidak boleh ditangkap, didaratkan, dan dimanfaatkan sama sekali. Semoga pengelolaan kawasan perairan dalam Taman Nasional Komodo dapat didukung oleh semua pihak dengan memastikan sumber daya alam perairan terjaga baik dan mampu memberi manfaat keberlanjutan bagi masyarakat sekitar.

 

Oleh: Vinni Nurizky (Sharks Conservation Campaigner

 









Artikel ini telah dilihat sebanyak 230 kali



Please share this page

Berita



Fenomena perubahan iklim yang telah terjadi sejak era 1800-an kini dampaknya semakin terasa



Hiu juga dikenal sebagai predator puncak (apex predator) di laut yang berfungsi menjaga keseimbangan ekosistem laut



Bertepatan dengan Shark Awareness Day, WWF-Indonesia menyelenggarakan diskusi daring #SharksonTuesDay






Mohon Tunggu....