WWF-Indonesia


FAQ

 1. Apa itu #SOSharks?

#SOSharks adalah kependekan dari Save Our Sharks, yaitu sebuah kampanye untuk menghentikan penjualan hiu di pasar swalayan, toko online dan restoran serta menghentikan promosi kuliner hiu di media massa. Menggunakan tanda ‘#’ atau hashtag didepan kata SOShark, kampanye ini berupaya menyatukan aksi dan menggalang dukungan dari publik melalui media-media sosial yang dapat dijalankan oleh setiap individu.

 

Sebagai sebuah gerakan terbuka, kampanye ini mendorong adanya tekanan dari  (public pressure)  -melalui dukungan dari masyarakat lewat petisi dan berbagai aksi media online-  guna membangun wacana  publik. WWF-Indonesia juga mengajak sebanyak-banyaknya figur publik untuk mendukung kampanye ini.

 

Kampanye ini dilakukan dengan tujuan menurunkan perdagangan sirip hiu di Indonesia, dengan cara:

  • Menghentikan perdagangan berbagai komoditi/produk hiu pada rantai perdagangan di ritel (toko swalayan, supermarket, dll), restoran, hotel, online shopping, eksportir, dll.
  • Menghentikan promosi konsumsi berbagai produk dari hiu oleh stasiun televisi nasional, serta mendorongkan promosi pemanfaatan hiu yang berkelanjutan.

 

2. Mengapa kampanye #SOSharks ini penting?

Hiu adalah salah satu spesies yang populasinya terancam punah. Sebagai predator teratas, hiu mengontrol populasi hewan laut dalam rantai makanan. Populasi hiu yang sehat dan beragam berperan penting untuk menyeimbangkan ekosistem laut, termasuk menjaga kelimpahan ikan-ikan bernilai ekonomis lainnya yang kita konsumsi.

 

Laporan TRAFFIC (www.traffic.org) selama tahun 2000-2010 menyebutkan bahwa Indonesia adalah penangkap hiu terbesar di dunia. Sebagian besar produk tersebut diekspor dalam bentuk sirip, minyak, dan kulit (Traffic, 2012). Penangkapan besar-besaran ini diakibatkan oleh tingginya permintaan pasar terhadap produk hiu, sehingga dapat menyebabkan terganggunya keseimbangan rantai makanan dalam ekosistem laut dan berdampak negatif bagi ketahanan pangan Indonesia.

 

Secara umum sirip hiu (atau terkadang bagian tubuh lainnya) didapatkan dengan memotong sirip mereka hidup-hidup atau biasa disebut dengan Shark Finning, lalu hiu tanpa sirip tersebut dibuang ke laut dalam keadaan masih bernyawa untuk kemudian mati secara perlahan.  Praktik yang keji tersebut dilakukan terhadap 38 juta hiu setiap tahunnya (Clarke, 2006) dari sekitar 26-73 juta hiu yang tertangkap dalam aktivitas perikanan dunia (Fordham, 2010). Ini berarti sekitar 1-2 individu hiu tertangkap setiap detiknya. Disisi lain, hiu adalah ikan yang perkembangbiakannya lambat serta menghasilkan sedikit anakan sehingga rentan terhadap eksploitasi berlebih.

 

Melalui kampanye SOShark ini WWF dan publik figure mengajak pihak terkait untuk mengambil langkah nyata, misalnya bagi Anda yang masih mengonsumsi sirip hiu untuk berhenti mengkonsumsinya sekarang juga. Sedangkan bagi penjual, menghentikan penjualan produk-produk dari hiu dan bagi media massa untuk berhenti mempromosikan kuliner hiu. Kami yakin bahwa bisnis yang dilakukan secara ramah lingkungan pasti akan membawa keuntungan bagi keberlangsungan bisnis itu sendiri.

 

3. Apa manfaat hiu bagi hidup manusia?

Di samudra, ikan dan organisme laut saling tergantung satu sama lainnya untuk bertahan hidup. Sebagai predator tingkat atas, hiu memastikan terkendalinya populasi ikan dan menjaga keseimbangan ekosistem. Hiu juga memakan hewan yang terluka atau sakit sehingga bisa membersihkan dan menghilangkan hewan dalam kondisi lemah. Artinya hiu juga dapat berperan sebagai pembersih lautan yang memastikan kesehatan ekosistem laut bisa terjaga (Ayotte, 2005).

 

Contoh yang terjadi di Atlantik, penurunan populasi 11 jenis hiu mengakibatkan meledaknya populasi 12 jenis ikan pari hingga 10 kali lipat, yang merupakan pemangsa jenis kerang-kerangan (bivalvia). Hilangnya bivalvia mengakibatkan tingkat kekeruhan air meningkat sehingga kemampuan fotosintesis lamun menurun. Hilangnya lamun menyebabkan ikan-ikan juga hilang atau tidak bertahan hidup, hingga kawasan itu disebut dead zone. Hilangnya spesies kerang menyebabkan bisnis kuliner dilokasi tersebut juga runtuh, sehingga perekonomian terganggu.

 

4. Apakah hiu termasuk spesies dilindungi? Bagaimana aturannya?

IUCN (International Union for Conservation of Nature - http://www.iucn.org/) memasukkan separuh spesies hiu dalam Red List of Endangered Threatened Protected Species. Sejak 24 April 2013, CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora - http://www.cites.org/ ) telah memasukkan 12 jenis hiu dalam daftar Appendix 1, 2, dan 3. Spesies di Appendix 1 secara umum dilarang diperdagangkan karena sedang terancam punah, sementara, Appendix 2 mengatur pengelolaan spesies yang menuju ancaman punah melalui aturan perdagangan yang ketat, sedangkan Appendix 3 mengatur perlindungan spesies setidaknya di satu negara anggota CITES. Jenis-jenis tersebut adalah 6 jenis Pristidae spp (Sawfishes) dalam Appendix 1; Pristidae microdon (sawfish), Cetorhinus maximus (basking shark), Carcharodon carcharias (Great White Shark), dan Rhincodon typus (Whale Shark) dalam Appendix 2; Sphyrna lewini (Scalloped Hammerhead) di Kosta Rika, dan Lamna nasus (porbeagle) (di beberapa negara Eropa) dalam Appendix 3.

 

Nota kesepahaman negara-negara anggota Convention on Migratory Species (http://www.cms.int/) juga mencatat semua jenis hiu yang terdaftar dalam CITES sebagai spesies dilindungi. Bagi Indonesia, upaya perlindungan ini menjadi kewajiban karena Indonesia telah meratifikasi CITES melalui Kepres No 43 tahun 1978, hanya saja peraturan ini kembali melemah karena tidak ada undang-undang yang secara khusus mengatur jenis eksploitasi hiu berdasarkan ratifikasi tersebut.

 

FAO (Food and Agriculture Organization) menilai hiu sebagai spesies yang memiliki nilai penting dalam ekosistem yang menjadi penentu dan indikator kesehatan dan keseimbangan ekosistem. FAO mengeluarkan International Plan of Action (IPOA) untuk perlindungan hiu, yang menjadi mandat bagi negara anggotanya untuk membuat National Plan of Action – Rencana Kerja Aksi (NPOA) bagi pengelolaan hiu. Saat ini Indonesia telah mendukung NPOA Hiu sejak 2009, hanya saja masih bersifat himbauan dan belum memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Kementerian Kelautan dan Perikanan menargetkan pada tahun 2014 akan mengeluarkan revisi terbaru dari NPOA tersebut serta membuat peraturan turunannya setingkat menteri. Beberapa negara yang sudah memiliki NPOA pengelolaannya seperti Jepang, Argentina, Uruguay, Kanada, Malaysia, Ekuador, Australia, Meksiko, Taiwan, UK, USA, dan New Zaeland.

 

Walaupun secara ekonomi hiu dipandang oleh banyak negara sebagai spesies yang tidak perlu dikonservasi karena nilai jual yang tinggi, namun para ilmuwan berpendapat populasi hiu sudah kritis dan perlu dilindungi. Berbagai studi tentang hiu dan populasinya banyak dipresentasikan dalam pertemuan-pertemuan dan jurnal-jurnal ilmiah (Meekan, Vianna, Pannell, & S Marsh, 2010) termasuk soal keuntungan pemanfaatan hiu secara berkelanjutan yang jauh lebih menguntungkan.

 

5. Apa yang dilakukan WWF dalam penyelamatan hiu?

Berikut ini adalah upaya-upaya WWF-Indonesia terkait penyelamatan hiu:

  • Melakukan advokasi pelaksanaan National Plan of Action Pengelolaan Hiu yang berkelanjutan melalui pendekatan ekosistem, atau dikenal sebagai EAFM (Ecosystem Approach to Fisheries Management-Pengelolaan Perikanan dengan Pendekatan Ekosistem – Lihat http://eafm-indonesia.net/tentang-eafm.html ). Selain itu, WWF-Indonesia juga bekerja melalui strategi Kawasan Perlindungan Laut untuk melindungi ekosistem laut, termasuk hiu di dalamnya.
  • WWF-Indonesia juga melakukan upaya mitigasi tangkapan sampingan (bycatch) hiu di perikanan tuna rawai panjang dengan himbauan untuk tidak menggunakan kawat baja pada tali cabang rawai tuna.
  • Secara global, WWF bersama mitra (akademisi, nelayan, industri, NGO) berupaya mencari solusi modifikasi alat tangkap untuk menghindari bycatch hiu melalui kompetisi Smart Gear (alat tangkap ikan ramah lingkungan - www.smartgear.org).
  • Spesifik untuk Hiu Paus (Whale Shark - Rhincodon typus), WWF melakukan penelitian untuk mengidentifikasi habitat penting, yang hasilnya diharapkan bisa menjadi masukan untuk mendukung penyusunan aturan perlindungan Hiu Paus di Indonesia, program ini menjadi salah satu fokus program WWF di wilayah Taman Nasional Teluk Cenderawasih, Papua.
  • WWF juga mengangkat isu hiu di ranah publik melalui rangkaian edukasi dan kampanye untuk meningkatkan kesadartahuan serta perubahan sikap dan perilaku. Dalam Seafood Guide WWF-Indonesia (www.wwf.or.id/seafoodguide) hiu dimasukkan dalam kategori yang harus di-Hindari, yang artinya masyarakat dihimbau untuk tidak mengonsumsinya. Melalui mekanisme Seafood Savers (www.seafoodsavers.org) yang melibatkan pihak industri, WWF mewajibkan penghentian perdagangan hiu oleh para anggota.

 

6. Apa yang bisa dilakukan masyarakat awam untuk melestarikan hiu?

Tidak mengonsumsi atau membeli produk yang terbuat dari bagian tubuh hiu adalah aksi yang paling mudah yang dapat dilakukan. Masyarakat juga dapat terlibat aktif dalam kegiatan kampanye anti perdagangan/komsumsi hiu, serta menyebarluaskan pengetahuan tentang konservasi hiu kepada lingkungannya. Terlibat dalam kegiatan pelestarian laut apa pun bentuknya: misalnya melalui petisi (www.change.org/sosharks, coastal and underwater clean up, reef rehabilitation, monitoring, program donasi, dll. Bagi masyarakat yang menjumpai penjualan produk-produk berbahan hiu, dapat menyampaikan ke penjual tentang pentingnya hiu bagi keberlangsungan ekosistem laut, dapat disampaikan pula peraturan-peraturan perlindungan hiu dalam poin no 4 di atas.

 

7. Berapa besar populasi hiu di dunia?

Para ilmuwan melakukan berbagai kajian untuk menghitung populasi hiu dengan berbagai referensi. Tercatat ada sekitar 440 jenis hiu di dunia yang baru sebagian kecil masuk dalam Red List of ETP (Endangered, Threatened, Protected) Species karena populasinya dianggap sudah mengkhawatirkan. Status populasi masing-masing spesies bisa dilihat di www.iucnredlist.org. Meskipun jumlah pasti populasi tersebut mustahil ditentukan, namun kita dapat memahami jumlah populasinya yang semakin menurun dari percepatan pembantaiannya dibandingkan dengan perkembangbiakannya yang sangat lambat.

 

8. Apakah pemerintah perlu melakukan sesuatu untuk melindungi hiu?

Ya, perlu!. Beberapa di anataranya: memasukkan daftar hiu oleh CITES dalam UU perlindungan satwa; Melaksanakan Rencana Aksi Nasional (NPOA) Pengelolaan Hiu dan menerapkan Pengelolaan Perikanan Berbasis Ekosistem (EAFM) dengan baik; Melakukan penelitian dan kajian mengenai status populasi hiu; pengelolaan yang adaptif; serta pengawasan dan penegakan hukum perikanan di Indonesia.

 

9. Mana yang lebih prioritas, perlindungan hiu atau pendapatan masyarakat lokal?

Keduanya harus berjalan secara sinergis. Pengelolaan hiu, termasuk perlindungannya, bertujuan untuk menjamin pemanfaatan hiu dalam jangka panjang bagi kesejahteraan masyarakat.

 

10. Apakah berarti perikanan hiu bisa dilakukan secara berkelanjutan?

WWF percaya pemanfaatan hiu dapat dilakukan secara berkelanjutan. Ilmu dan teknologi dewasa ini seharusnya mampu mendukung untuk pengembangan perikanan berkelanjutan, termasuk perikanan hiu; serta menuruti peraturan dan rekomendasi yang diberlakukan.

 

Dengan paradigma pengelolaan terkini berbasis ekosistem, yang menyeimbangkan komponen ekologi, sosial dan ekonomi secara berimbang dan berkeadilan. Dalam konteks ini, beberapa prinsip yang harus diperhatikan dalam implementasi pendekatan ekosistem dalam pengelolaan perikanan (EAFM) antara lain adalah : (1) perikanan harus dikelola pada batas yang memberikan dampak yang dapat ditoleransi oleh ekosistem; (2) interaksi ekologis antar sumberdaya ikan dan ekosistemnya harus dijaga; (3) perangkat pengelolaan sebaiknya compatible untuk semua distribusi sumberdaya ikan; (4) prinsip kehati-hatian dalam proses pengambilan keputusan pengelolaan perikanan; (5) tata kelola perikanan mencakup kepentingan sistem ekologi dan sistem manusia (FAO, 2003).

 

11. Siapa saja figure publik yang mendukung kampanye #SOSharks?

Meningkatnya permintaan pasar terhadap produk hiu dibentuk oleh pola konsumsi kita, tak hanya sirip hiu, kini berbagai produk untuk keperluan kulinari dan farmasi berbahan baku hiu. Kehawatiran ini ditunjukan oleh dukungan sejumlah figur publik dari berbagai latar belakang profesi, yang selanjutnya kita gelari mereka sebagai ‘Champion’ #SOSharks yang mendukung kampanye ini. Figur publik tersebut adalah:

  • William Wongso (Pakar Kuliner); Twitter: @williamwwongso
  • Bondan Winarno (Pakar Kuliner); Twitter: @PakBondan
  • Ardian Ishak (Molecular Gastronomy Chef);  Twitter: @chefbodin
  • Emirsyah Satar (President dan CEO Garuda Indonesia)
  • Olga Lydia (Model dan Presenter); Twitter: @Olgaly_DIA
  • Nugie (Musisi dan Aktivis Lingkungan); Twitter: @nugietrilogy
  • Mariskha Prudence (Travel Blogger); Twitter: @marischkaprue
  • Nadine Chandrawinata (Model, Aktris, dan Aktivis Lingkungan); Twitter: @nadinelist
  • Kaka Slank (Musisi dari Group Musik SLANK) Twitter: @fishGOD
  • Ringgo Agus Rahman (Aktor dan Presenter); Twitter: @ringgoagus
  • Denanda (Penyanyi dan Aktris) Twitter : @d3nada
  • Jerry Aurum (Fotografer) Twitter : @jerryaurum; FB Fanpage: http://www.facebook.com/jerry.aurum
  • Titi Rajo Bintang (Aktris dan Musisi); Twitter: @TitiRajoBintang
  • Davina (Model dan Aktivis Lingkungan); Twitter: @
  • Alexandra Gottardo (Aktris); Twitter: @Got_Alex
  • Vera Lasut (Produser Film); Twitter: @VeraLasut
  • Nina Taman (Musisi dan Penyanyi); Twitter: @nina_tamam
  • Erikar Lebang (Penulis Buku dan Praktisi Kesehatan); Twitter: @erikalebang
  • Daniel Mananta (Entertainer/Enterpreneur, Owner of Damn! I Love Indonesia); Twitter: @VjDaniel

Komitmen dan dukungan mereka pada kampanye ini dapat dilihat dari pesan pesan yang disampaikan kepada publik bagi pelestarian, dan perlindungan hiu yang dapat anda akses pada link berikut ini: www.wwf.or.id/sosharks

 

12. Bagaimana saya bisa turut berpatisipasi pada kampanye #SOSharks?

Kampanye ini bersifat terbuka dan siapapun  baik oleh individu atau instititusi dapat berpatisipasi dengan memberikan dukungan dengan cara:

 

  • Turut serta membantu menyebarluaskan kampanye #SOSharks dan follow salah satu akun media sosial WWF yang ada pada:
  • Website: www.wwf.or.id/sosharks
  • Twitter: @marinebuddies ; dan @WWF_ID
  • Facebook fanpage: www.facebook.com/wwfsosharks
  • Youtube: http://www.youtube.com/user/WWFIndonesia
  • Turut serta menyebarluaskan isu kampanye #SOSharks ke publik luas dan media melalui jejaring media sosial yang Anda miliki .
  • Mengajak publik luas, rekan, sahabat, keluarga atau kolega untuk berpatisipasi dengan memberikan dukungan dengan cara turut mengisi petisi #SOSharks yang kami sediakan secara online pada www.change.org/sosharks

Bentuk dukungan ini diharapkan dapatmendorongkan perubahan perilaku produksi dan konsumsi Hiu yang ramah lingkungan dengan memperhatikan kelangsungan hidup Hiu bagi kesimbangan ekosisitem laut dan kelestarian Alam.

 

Untuk memperoleh informasi lebih dalam tentang hiu dan pelestariannya, serta upaya konsumsi seafood yang bijak silahkan kunjungi:

 

 

Untuk informasi lebih lanjut tentang kampanye #SOSharks silahkan hubungi:

 

RANNY R. YUNENI

Sharks Conservation Program Officier WWF-Indonesia

[email protected]

 

DEWI SATRIANI

Communication Manager

[email protected]

 

Referensi:

  • Clarke, S. (2006). Massachusetts: College of Conservation Science.
  • Fordham, S. (2010, November 17). As Shark Slaughter Continues, A Defender Targets Fin Trade. (http://e360.yale.edu, Interviewer)
  • Traffic. (2012). An Overview of Shark Utilization in the Coral Triangle Region. Hong Kong: Traffic.
  • Vianna G, Meekan M, Pannell D, Marsh S, Meeuwig JM (2010) Wanted Dead or Alive? The relative value of reef sharks as a fishery and an ecotourism asset in Palau. Australian Institute of Marine Science and University of Western Australia, Perth. 34 p. Downloaded from: here 



Mohon Tunggu....